Tanggal 1 Suro atau 1 Muharam memiliki makna yang luar biasa bagi masyarakat Jawa, bahkan sebagian masyarakat luar Jawa. Demikian juga di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak, warga memperingati malam pergantian tahun baru Islam itu dengan sejumlah kegiatan ritual.
Selain menjadi peringatan tahun baru Islam, di Indonesia 1 Muharram juga kerap dimaknai dengan berbagai simbol tradisi dan kebudayaan. Hal ini tak bisa lepas dari akulturasi budaya yang telah dilakukan sejak kepemimpinan sultan Agung dengan istilah 1 Suro.Dalam Islam, Muharam merupakan salah Satu dari 12 bulan Hijriyah. Seperti Januari, Muharram adalah tanggal pertama dalam penanggalan Islam. Arti kata Muharram sendiri bermakna 'diharamkan' atau 'dipantang', yang artinya pada bulan ini umat Islam dilarang yaitu dilarang melakukan peperangan atau pertumpahan darah.Masuknya Islam di tanah air, membuat tradisi perayaan tahun baru 1 Muharram diadopsi dalam bentuk tradisi lokal.
Perayaan malam 1 Suro juga kerap dilaksanakan dengan berbagai jenis tradisi dan ritual khusus. Tradisi ini sering diadakan di Jawa dan Madura, terutama di bekas kekuasaan Mataram semasa pemerintahan Sultan Agung minus Jakarta, Banten, dan Banyuwangi (Blambangan).
Perubahan tahun pada sistem penanggalan Jawa dan Islam dimulai setelah Magrib, bukan pukul 12 malam. biasnaya setelah sholat Ashar warga membaca doa akhir tahun dan setelah sholat Maghrib membaca doa awal tahun. Berbagai tradisi unik sering dilakukan pada perayaan pergantian tahun ini di kecamatan Sayung. Pada tradisi Jawa, momen ini sering dimanfaatkan dengan beberapa kegiatan religi, seperti puasa berbicara, tidak meninggalkan rumah dan mengisi waktu dengan ibadah dan saat yang tepat untuk merefleksi diri sendiri. Masyarakat Sayung sebagian besar percaya bahwa saat malam satu suro sampai paginya pada tanggal 1 suro, tidak diperbolehkan berpergian ke luar rumah tujuannya untuk menghindari bahaya dan petaka.
Ketika Tahun Baru Islam dimulai atau tahun baru hijrah (malam tanggal 1 Muharram) datang, di kecamatan Sayung melakukan tradisi “tirakatan” diikuti dengan kegiatan doa-doa untuk menyambut pergantian tahun. Tak heran bila di banyak tempat kita temui banyak kegiatan yang terkait dengan kegiatan yang terkait dengan sembahyang dan praktik-praktik tirakat.
“Tirakatan”, berasal dari bahasa Arab : taroka, yatruku, tarakan-tirakatan (telah meninggalkan, sedang/ akan meninggalkan, tinggalan). Kata ini berubah menjadi bahasa Indonesia/Jawa menjadi “tirakatan”.Pada malam Muharram atau disebut malam Suro, di berbagai tempat misalnya di kelurahan, kecamatan, kabupaten/ kota banyak orang melaksanakannya kegiatan dengan caranya masing-masing.
Di kampung saya sendiri di kecamatan Sayung kabupaten Demak, tirakatan dimulai dari pukul setengah 8 yaitu setelah sholat isya yang kegiatannya berupa selametan atau bancaan. Kegiatan ini dilakukan dijalanan kampung tidak di dalam rumah. Tujuannya agar bisa luas dan bebas dalam memanjatkann doa kepada sang pencipta. Tirakatan dilakukan di jalan karena tirakat dari kata Horiqot atau jalan, yang dimaknai sebagai usaha mencari jalan agar dekat dengan Allah. Kegiatan ini hanya diikuti oleh bapak-bapak saja, sedangkan ibu dan anak hanya berdiam di rumah membaca ayat Al-quran atau berzanji. Selamatan ini berupa nasi berkat dan jajanan pasar yang ditempatkan di tampah besar terbuat dari bambu. Maksdunya kegiatan ini sebagai wujud rasa syukur atas apa yang telah diberikan kepada Allah dan berharap di tahun yang baru dapat merasakan nikmat yang seperti itu juga. Sepanjang bulan Suro masyarakat Sayung meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bukan Suro. Acara ini dipimpin oleh tokoh agama di kampung ini yang dianggap paling fasih dalam pembacaan Al-quran.
Di desa lainnya setelah melakukan tirakatan di jalan, diadakan pementasan wayang kulit yaitu di balai desa Sriwulan kecamatan Sayung. Malam itu desa Sriwulan mengadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Dalam rangka memperingati tahun baru 1 Muharam yang jatuh pada hari Jumat. Desa ini selalu mengadakan pementasan wayang kulit semalam suntuk pada malam satu suro atau 1 Muharram. “Hal ini di samping untuk tetap menjaga kelestarian budaya, juga untuk mengenalkan kepada masyrakat bahwa kebudayaan dan agama dapat berjalan selaras bersama,” kata Riyanto seorang warga desa Sriwulan. Pagelaran wayang yang diadakan di balai desa ini dihadiri oleh banyak masyarakat atau warga sekitar. Karena sudah jarang ditemui pementasan wayang kulit dan hanya ada pada malam satu suro ini. Baik pemerintah desa dan masyarakat Sriwulan berpartisipasi dan antusias. Mereka cukup baik dalam menyikapi kelestarian Budaya. Kebudayaan perlu tetap dijaga.
Pengenalan kepada anak-anak juga penting demi terpeliharanya sebuah kebudayaan yang baik. Antusias warga sendiri dapat terlihat dengan padatnya bahu jalan yang digunakan untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit. Acara ini dimulai pada pukul 21.00 hingga pagi hari tepatnya saat subuh, namun semakin larut malam, anak-anak yang menyaksikan wayang kulit ini mulai berpulang ke rumah, sehingga hanya tersisa orang tua yang menyaksikan pementasan tersebut, khusunya bapak-bapak.
Tradisi itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan di era modern sekarang ini masyarakat sekitar masih mempercayai tradisi tersebut. Ritual ini mempunyai maksud ilmiah, yaitu menumbuhkan kerukunan di antara warga yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Acara ini diadakan dengan biaya sendiri dan juga diadakan doa bersama agar semua rwaga diberi ketentraman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar